Kamis, 20 Juli 2017

Rumah Adat Jawa Tengah | Rumah Joglo

Penjelasan di bawah ini akan menguraikan secara rinci mengenai rumah adat Jawa Tengah yang terkenal dengan rumah joglo disertai dengan penjelasan mengenai rumah adat Jawa Tengah lainnya.

Sesuai dengan namanya, Provinsi Jawa Tengah berada di bagian tengah Pulau Jawa dengan Semarang sebagai Ibukotanya. Provinsi Jawa Tengah berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta, lalu disebelah timur berbatasan dengan  Jawa Timur, dan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Selain itu Provinsi Jawa Tengah juga mencakup Pulau Nusakambangan di sebelah selatan dan juga Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.

1. Rumah Joglo

Rumah joglo merupakan rumah adat Jawa Tengah yang dibangun berlandaskan keyakinan atau filosofi jawa. Penyebutan rumah joglo terjadi akibat bentuk atap rumah joglo yang menyerupai dua gunung atau taJUG LOro (JUGLO) dan berkembang penyebutannya menjadi Joglo. Penggunaan gunung diyakini oleh masyarakat Jawa saat itu sebagai tempat suci atau rumah para dewa. 

Rumah Joglo



Tidak hanya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta pun memiliki rumah joglo dengan cirri khas daerahnya masing-masing. Ciri khas rumah joglo secara umum yaitu memiliki pekarangan yang luas dan lapang tanpa dibatasi oleh sekat, bangunannya berbentuk persegi panjang, memiliki tiga pintu depan dan terdapat tiang yang disebut Soko Guru atau Saka Guru. Denah utama rumah Joglo terdiri dari tiga bagian utama yaitu, Pendhapa atau Pendopo, Pringgitan dan Omah Dalem atau Omah Njero dan bagian tambahan lainnya. Berikut ini skema sederhana rumah Joglo.
Skema denah Rumah Joglo

1.1 Pendhapa atau Pendopo

Pendhapa atau pendopo merupakan bagian depan rumah yang terbuka, tidak berdinding, berpagar ataupun bersekat dan tempat tiang Soko Guru berada. Kata dasar Pendhapa yaitu Andhap yang berarti rendah, karena posisinya yang lebih rendah dari Omah Ndalem. Umumnya ruangan ini dimanfaatkan penghuninya sebagai tempat pertemuan, menerima tamu, kerabat dan saudara. Kadang kala tempat ini juga dimanfaatkan sebagai tempat latihan menari dan kegiatan lainnya.
Pendopo


Ruang depan yang terbuka menggambarkan falsafah penduduk Jawa yang memiliki sifat ramah, terbuka dan membebaskan siapa saja tamu yang hendak datang. Sebagai pengganti meja dan kursi, lantai teras dilapisi tikar agar suasana dapat lebih santai dan lebih akrab sehingga tidak terdapat perbedaan status antara penghuni kediaman dan tamu. Uniknya, walaupun letaknya di bagian depan, jalur utama untuk memasuki rumah bukanlah dari pendopo akan tetapi melewati pintu samping.

1.2. Pringgitan

Pringgitan merupakan suatu ruangan yang mengkoneksikan pendopo dengan omah njero atau omah dalem. Pringgitan merupakan sebuah ruangan semi privat yang biasanya digunakan sebagai ruang tamu untuk menerima tamu atau saudara yang lebih dekat hubungan kekerabatannya. Umumnya antara Pendhapa dengan pringgitan tidak dibatasi oleh sekat sehingga kita dapat melihat pendhapa secara keseluruhan, namun sekarang ini banyak juga pringgitan yang diberi sekat atau sketsel dengan pendhapa, sedangkan sekat dengan omah ndalem menggunakan gebyok. Masyarakat Jawa dahulu biasa menggunakan Pringgitan untuk menghelat pagelaran wayang kulit dan para penonton menyaksikan dari pendhapa. Oleh karena itu ruangan ini disebut Pringgitan yang memiliki kata dasar Ringgit yang berarti wayang.
Pringgitan


Penggunaan Pringgitan sebagai ruang interaksi dan pagelaran seni menggambarkan falsafah orang Jawa sebagai mahluk social, mahluk budaya dan mahluk Tuhan, karena ruangan ini dahulu juga dimanfaatkan untuk upacara atau ruwetan kepada para dewa, namun dengan berkembangnya agama islam ruangan ini digunakan sebagai tempat ibadah.

1.3. Omah Ndalem atau Omah Njero

Omah Ndalem atau Omah Njero kadang disebut juga sebagai omah-mburi dan dalem ageng. Ruangan ini adalah bangunan inti dari rumah joglo dan merupakan ruangan khusus para penghuni rumah untuk bercengkrama dan bersantai antar sesama keluarga. Omah Ndalem terdiri dari ruang keluarga dan beberapa kamar yang disebut dengan senthong. Masyarakat dulu hanya membangun senthong sebanyak tiga senthong, yaitu senthong Kiwo, senthong tengah dan senthong tengen. Namun masyarakat sekarang ini membuat senthong disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga.

1.4. Senthong Kiwo

Senthong Kiwo merupakan kamar yang berada di bagian kiri omah ndalem, sesuai dengan namanya “Kiwo” yang berarti kiri dalam bahasa Jawa. Karena posisinya yang lebih dekat dengan dapur Senthong Kiwo umumnya digunakan untuk menaruh bahan pokok rumah tangga seperti beras dan bumbu dapur, hasil tani dan lainnya. Selain itu ruangan ini juga dimanfaatkan juga untuk menyimpan senjata dan perlengkapan pertanian.

1.5. Senthong Tengah

Senthong Tengah merupakan kamar yang berada di bagian tengah, posisinya paling dalam dan merupakan bagian paling disucikan dan disakralkan oleh pemilik rumah Joglo. Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut ruangan ini sesuai dengan fungsinya, diantaranya krobongan, pasren, pedaringan, sepen dan Sri.

a. Krobongan

Krobongan berarti tempat pembakaran (berasal dari kata “Obong” atau bakar). Istilah tersebut diberikan karena  senthong tengah biasa digunakan sebagai ruangan untuk membakar kemenyan ketika si pemilik rumah melakukan upacara pitra yadnya (pemujaan kepada leluhur).

b. Pasren

Pasren/pepasren/sesaji terbentuk dari kata pa-sri-an yang memiliki arti sebagai tempatnya Dewi Sri, yaitu dewi penguasa tanaman padi. Saat datangnya musim panen, para petani membungkus seuntai padi yang pertama kali dipotong menggunakan kain batik kemudian diletakkan di senthong tengah sebagai persembahan kepada Dewi Sri. Oleh karena itu pasren disebut sebagai tempat untuk Dewi Sri.

c. Pedaringan

Pedaringan memiliki arti tempat padi (berasal dari kata “Daring” yang berarti gabah kering). Istilah itu disematkan karena padi identik dengan Dewi Sri. Istilah berikutnya yaitu

d. Sepen

Sepen atau tempat untuk menyepi, karena ruangan ini sering digunakan oleh penghuninya untuk berdoa, bermeditasi dan sembahyang.

e. Sri

Istilah yang terakhir yaitu Sri sesuai dengan nama Dewi Sri sebagai tempat Dewi Sri bertandang. Keberadaan Dewi Sri diwujudkan dengan dibuatnya patung Loro Blonyo sebagai symbol dewi kemakmuran.
Senthong tengah ini sengaja tidak ditiduri atau sengaja dikosongkan oleh sang pemilik rumah. Dahulu isi ruangan dan kelengkapan prasarana untuk upacara atau ritual di dalam senthong tengah disesuaikan dengan status ekonomi pemiliknya. Untuk masyarakat dengan status ekonomi rendah seperti petani, senthong tengah hanya diisi dengan sebuah meja sesaji. Untuk masyarakat keturunan bangsawan dan priyayi, selain meja sesaji, ruangan juga diisi tempat tidur berukuran kecil, lengkap dengan kasur, bantal, guling, dan sprei. Sedangkan pada bangsawan dengan status sosial yang sangat tinggi, ruang senthong tengah yang mereka miliki berukuran besar, tempat tidur yang ditaruh mengenakan kelambu, dan diletakkan sepasang arca pengantin di depan kasurnya.
Senthong Tengah


Salah satu ciri khas senthong tengah adalah kondisi ruangan yang sangat  gelap sekali tanpa ada cahaya yang masuk. Hal ini terjadi karena posisinya yang berada ditengah dan tidak terdapat jendela. Pemilik rumah berdoa dengan keadaan gelap gulita dimana kondisi ini disebut pati geni yang berarti tidak melihat cahaya atau berada diruang hampa cahaya.

1.6. Senthong Tengen


Senthong Tengen merupakan kamar yang berada di bagian kanan omah ndalem, sesuai dengan namanya “Tengen” yang berarti kanan dalam bahasa Jawa. Umumnya kamar ini dimanfaatkan sebagai ruang tidur khusus pemilik rumah sehingga sifatnya sangat pribadi dan tertutup untuk dimasuki orang luar. Akan tetapi kamar ini lebih multifungsi bila dibandingkan dengan Senthong Kiwo karena untuk penduduk menengah ke atas pada jaman dahulu, ruangan ini dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang digunakan dalam acara resmi (pakaian adat, perhiasan), keperluan upacara (dupa, kemenyan), dan barang pusaka (keris, tombak) yang tersimpan di dalam lemari. Namun bagi masyarakat menengah kebawah biasanya senthong tengen hanya digunakan sebagai kamar tidur orang tua.

1.7. Gandhok Kiwo


Gandhok merupakan ruangan yang terletak di bagian kanan dan kiri Pringgitan dan Omah Ndalem, bentuknya bangunannya memanjang dan posisinya berpisah dari bangunan utama dengan halaman terbuka sebagai pemisah.  Umumnya Gandhok dimanfaatkan sebagai ruang tidur bagi keluarga, saudara dan tempat tamu menginap. Gandhok terdiri atas dua bagian yaitu Gandhok Kiwo dan Gandhok Tengen. Gandhok Kiwo berada di bagian kiri bangunan Omah Ndalem dan digunakan sebagai ruang tidur para laki-laki.

1.8. Gandhok Tengen


Gandhok Tengen berada di bagian kanan bangunan Omah Ndalem dan digunakan sebagai ruang tidur para perempuan. Walaupun umumnya digunakan sebagai ruang tidur, adakalanya Gandhok juga digunakan sebagai tempat menyimpan bahan makanan.

1.9. Pawon


Pawon atau dapur berada di bagian belakang Omah Ndalem yang dipisahkan dengan halaman terbuka seperti halnya Gandhok. Posisi dapur dipisahkan dari bangunan inti karena bangunan inti dianggap sangat suci dan sacral sehingga tidak baik bila berdekatan dengan dapur yang kotor. Dahulu proses memasak masih memakai kayu sebagai sumber bahan bakar sehingga dapur identik dengan banyaknya abu yang terbentuk dari hasil pembakaran. Oleh karena itu kata pawon berasal dari kata dasarnya yaitu awu atau abu.

Dapur Pawon

1.10. Pekiwan


Pekiwan dimanfaatkan sebagai kamar mandi dan toilet bagi para penghuni rumah. Di dalam pekiwan ini terdapat sumur sebagai sumber air yang digunakan untuk mandi, mencuci dan memasak. Uniknya posisinya jauh terpisah dari bangunan inti yaitu berada di bagian belakang dapur. Seperti halnya dapur, Pekiwan dianggap sebagai tempat yang kotor dan bau sehingga posisinya tidak boleh berdekatan dengan bangunan inti.

Pekiwan

1.11. Seketheng


Seketheng merupakan dinding pembatas yang terbuat dari batu bata dan memiliki dua buah gerbang kecil. Seketheng digunakan sebagai penghubung halaman luar rumah dengan halaman dalam rumah.
Umumnya rumah Joglo dibangun menggunakan kayu jati berkualitas tinggi sehingga awet tetapi juga mahal. Oleh karena itu dahulu rumah Joglo hanya mampu dibangun untuk masyarakat kalangan atas. Struktur utama rumah Joglo berupa struktur Rongrongan yang terbentuk dari beberapa bagian seperti gambar berikut:


Meskipun strukturnya dibangun dari beberapa bagian namun rumah Joglo lebih dikenal dengan tiang soko guru dan tumpang sarinya. Tiang Soko Guru atau Sakaning Guru merupakan empat buah tiang penopang atap yang berada dibagian tengah pendhapa dan lebih tinggi dari tiang-tiang lainnya. Selain fungsinya sebagai penopang atap dan penyangga tegaknya rumah, masing-masing tiang ini juga menjadi simbol empat arah mata angin yang mewakili empat esensi kesempurnaan hidup dan esensi dari sifat manusia. Tiang soko guru ini terletak dibagian pendopo terdiri bersama dengan tiang pangarak atau tiang samping yang menopang bagian lain pendopo.

Soko Guru atau Sakaning Guru

Walaupun berfungsi sebagai penopang atap, tiang-tiang soko guru ini tidak langsung bersentuhan dengan atap, akan tetapi menempel pada suatu undakan - undakan atau balok-balok yang bersusun dan memiliki pola piramida terbalik atau brunjung, yaitu semakin ke bawah semakin mengecil atau yang biasa dikenal dengan tumpang sari. Selain bentuk brunjung atau piramida terbalik, sekarang ini banyak juga tumpang sari yang berbentuk menyerupai piramida dimana susunan balok semakin ke atas semakin mengerucut. Tumpang sari ini berfungsi untuk menopang bagian langit-langit Joglo (pamindhangan).


Selain tiang soko guru dan tumpang sari, tentu saja atap rumah joglo menjadi cirri khas utama rumah joglo. Penyebutan Joglo berdasarkan bentuk atapnya yang berbentuk gunung dan dinamakan Tajug, namun kemudian berkembang menjadi atap Joglo/Juglo yaitu singkatan dari Tajug Loro atau dua tajug yang digabungkan menjadi satu.  


Atap rumah Joglo terdiri atas dua bagian, yaitu rangka atap dan penutup atap. Bahan yang umumnya digunakan untuk rangka atap Joglo yaitu kayu, baik kayu polos maupun yang dipenuhi ukiran, yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing penghuni. Sedangkan bahan penutup atap biasanya menggunakan genteng tanah liat dan atap sirap. 

Genteng tanah liat dihasilkan dari tanah liat yang ditekan kemudian dibakar. Kekurangan dari genteng ini adalah terjadinya perubahan warna dan munculnya jamur bila semakin lama digunakan. Sedangkan atap sirap terbuat dari kepingan tipis kayu ulin. Kelebihan penutup atap ini yaitu ringan, kuat, memantulkan panas sehingga membuat ruangan dibawah lebih sejuk dan membuat tampilan atap lebih cantik. Selain itu atap sirai mampu bertahan sampai 25 tahun bahkan bisa selamanya bergantung dari lingkungan, kualitas kayu yang digunakan, dan besarnya sudut atap.


sumber : http://www.rumah-adat.com/2017/01/rumah-adat-jawa-tengah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar